CINTA DALAM WUJUD BERBEDA
(sebuah Cerpen kehidupan)
Aku masih mengernyitkan dahi, memeras otak lebih keras mencari sebuah jalan keluar. sesuatu yang reltif kecil, menjadi besar karena desakan. aku disadarkan bahwa besar kecil ukuran bukan pada jumlah atau nilai, namun tergantung pula pada waktu dan desakan.
ku ambil telepon genggamku, kuputar setiap nama pada kontaku. lalu kutuliskan pesan.
"Apa yang ayah ketik?, pesan apa yang Ayah kirim?" tiba-tiba istriku mendelik setelah membaca pesan yang baru saja terkirim. pesan pada seseorang untuk meminjam sejumlah uang sekedar memenuhi desakan kebutuhan.
Aku hanya diam, setidaknya memberikan kesempatan untuk kemarahannya. Ya, kemarahan dia, perempuan cantik yang tak ternilai tentang kesetiaannya.
"Ayah... Ayah faham tidak? Aku tidak ingin melihat Ayah seperti ini...." suaranya bergetar, entah marah atau sedih, yang pasti bulir-bulir bak kaca, mulai tergambar di sudut matanya.
"Ayah selama ini, selalu bekerja siang malam, lupa makan lupa tidur, bahkan sampai sempat tak pulang, apa yang Ayah dapatkan?" suaranya jelas meninggi, meski bercampur getaran berbeda, yang jelas berasal dari dalam lubuk hati.
kembali Aku hanya terdiam.
"Aku lihat selama ini, Ayah berkorban atas nama kemaslahatan, mencurahkan segala kemampuan, bekerja keras... bukan saja fikiran, bahkan tenaga dan waktu. Apa yang Ayah dapatkan?!" jatuhlah bulir itu dari indah bola matanya, mengalir membasahi pipi yang selama ini kukagumi.
"Keluarga ayah nomor dua kan, dengan anak-anak pun sangat terbatas kebersamaan, Ayah selalu bilang untuk kebutuhan masyarakat, agar masyarakat dan lingkungan lebih baik. Sekarang...mana perhatian mereka untuk Ayah?" jelas lah sekarang, suaranya bercampur tangisan.
Aku hanya diam membisu, mencoba mendengar suara kecemburuannya. Cemburu atas perhatian, Cemburu untuk waktu yang kukorbankan.
"Ayah berusaha sepenuh hati dan kemampuan, hingga datang berbagai hasil dalam jumlah tertentu, lalu... Ayah dapat apa?" terus menerus kata-kata itu keluar dari mulut manisnya. seakan-akan rentetan senjata otomatis yang dimuntahkan sepenuh keberanian.
"Jika Ayah bekerja seperti itu, dengan hasil seperti itu, setidaknya Ayah dapatkan hasil yang setimpal, atau paling tidak ada sekedar penghargaan, yang tidak membuat Ayah seperti ini...." sambungnya
"Sekedar untuk mememnuhi kebutuhan hari ini saja, Ayah harus pinjam..?" dakwa nya lagi.
Aku hanya diam terpaku. kutundukan kepalaku, memberi peluang agar segala keegoisannya meledak keluar.
tiba-tiba ia menangis dan berkata lirih: "Ayah..., maafkan Aku, Aku hanya tidak ingin melihat Ayah seperti ini. Aku tidak ingin menambah beban fikiranmu. Aku tahu, dan sangat faham tentang amal yang menjadi niat Ayah, tentang kebaikan yang Ayah berusaha tebarkan, tentang perbaikan yang Ayah perjuangkan. Aku tidak ingin menambah Ayah terbebani dengan kebutuhan kecil kita...?"
menangislah dia, tapi bukan amarah yang mendasarinya.
Aku melihat ada cinta dalam getarannya. Ada sayang dalam bening airmatanya.
Aku usap kepalanya dan kukatakan "Bersabarlah... Allah tahu kebutuhan kita. dan pasti akan memenuhinya"
hanya itu dan hanya itu yang keluar dari mulutku.
"Maafkan Aku Ayah...., Aku akan tetap mendukung setiap usaha dan keputusanmu. Dan Akupun yakin dengan segala keyakinanmu...."
Pesan yang bisa diambil, dengarkan kemarahan istrimu. karena di dalamnya bukan amarah, tapi cinta dan kasih sayang. beri ruang untuk perhatiannya. meski perhatiannya, harus berbalut suara tinggi dalam selubung "gugatan".
Percayalah marahnya dia, karena tidak rela melihat beban dan keadaan kita.
lalu... sisi yang mana yang akan kita ragukan dalam cinta dan kesetiaannya?😍
Bumi Langgeng, Syawal 1443H